Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada sesembahan selain Allah’. Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah’ secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud atau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga dengan sesembahan. Lihat sedikit penjelasan berikut ini.
Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan (sesuatu yang diibadahi) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun): Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?. Firaun menjawab: Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. Dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka. (QS. Al A’raaf [7] : 127)
Ibnu Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan mengkasroh hamzah, menfathahkan lam, dan sesudahnya huruf alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya, namun dia tidak menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu Abbas. Ibnul Ambariy mengatakan bahwa para ahli bahasa mengatakan: al ilahah (الإِلاهة) bermakna al ‘ibadah (العبادة) yaitu peribadahan. Sehingga maksud ayat ‘meninggalkanmu, wahai Fir’aun dan peribadahan manusia kepadamu’.
Kesimpulannya: Karena ilahah (الإِلاهة) bermakna ibadah maka ilah bermakna ma’bud (yang diibadahi/sesembahan). (Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zadul Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf ayat 127, begitu pula penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal. 74-75).
Sebagai tambahan penjelasan, makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan selanjutnya. Kita lanjutkan pembahasan di atas. … Namun, jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah (karena kalimat tersebut dapat bermakna tidak ada sesembahan melainkan dialah Allah). Jadi, Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai perantara kepada Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.
Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut. “Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan telah bertauhid. … Dan ini –wal’iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul, berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir karena segala makhluk yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang yang menentang ini. Jika kita sudah memahami demikian, maka tidak boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah.”
Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’.” –Demikian yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi- (Lihat Ma’arijul Qobul’, I/325) . Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’? Jawabnya, karena kenyatannya banyak sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata. Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman [31] : 30) Ayat ini menunjukkan bahwa sesembahan selain Allah adalah sesembahan yang batil, sesembahan yang tidak berhak untuk diibadahi dan Allah-lah sesembahan yang benar. Maka tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].
Demikian pembahasan pada posting kali ini. Insya Allah pembahasan ini masih dilanjutkan pada posting selanjutnya untuk memperkuat pembahasan kami kali ini. Berikutnya, kami akan menukil berbagai pendapat ulama tafsir yang menafsirkan kalimat laa ilaha illallah sebagaimana yang kami kemukakan di atas.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya. Muhammad Abduh Tuasikal
Seri dua dari tiga tulisan (Lanjutan: Salah Fatal dalam Menafsirkan Kalimat Syahadat) Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST